Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Tasawuf
(Tasawwuf) atau Sufisme
(bahasa Arab: تصوف ,
) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan
akhlaq, membangun dhahir dan batin serta untuk memporoleh kebahagian yang
abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi)
dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering
dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau
kombinasi dari beberapa tradisi[butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar
ke seluruh belahan dunia. Sufisme merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang
didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian batin, dimensi mistis Islam; yang
lain berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perennial yang eksis sebelum
kehadiran agama, ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.[1]
Daftar isi
- 1 Etimologi
- 2 Sejarah paham
- 3 Tokoh tasawuf di Indonesia
- 4 Contoh paham
- 5 Tasawuf dan ilmu pengetahuan
- 6 Kesenian sufi
- 7 Doa Sarmadiyah
- 8 Lihat pula
- 9 Catatan
- 10 Bacaan tambahan
- 11 Pranala luar
Etimologi
Ada beberapa sumber perihal
etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu
berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana
yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah
atau pakaian dari wol. Ada juga yang berpendapat bahwa sufi berasal dari kata saf,
yakni barisan dalam sholat. Suatu teori etimologis yang lain menyatakan bahwa
akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini
menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa.[2]
Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya
ilmu ketuhanan.
Sejarah
paham
Banyak pendapat yang pro dan kontra
mengenai asal usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama
Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan
bahwa ilmu tasawuf sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa
paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad
menjadi Rasulullah[3].
Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang
sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut
paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara
kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini
didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan.
Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang
sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai
akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut.
Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham
tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan
bahwa asal usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal
dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl
al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam
benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad [4].
Pendapat lain menyebutkan tasawuf
muncul ketika pertikaian antar umat Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian
antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus
berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah
masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan
kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah
, yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu
dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri
pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figur lain seperti Shafyan
al-Tsauri dan Rabi’ah
al-‘Adawiyah.[5]
Definisi Sufisme
- Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
- Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).
Pendapat yang mengatakan bahwa
sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:
- Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995) [6]
- Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] [7].
- Sufi tidak lain adalah ajaran untuk mencapai maqam Ihsan (sebagaimana tersebut dalam hadist) atau mencapai status muqarrabun (orang-orang yang didekatkan kepada ALLAH).
- Tasawuf adalah penafsiran bathin (psikologis) dari ayat-ayat Quran seperti : Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain ALLAH adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (Quran, 29:41). Dalam Tasawuf, yang dimaksud pelindung dalam ayat ini juga termasuk pelindung secara psikologis, sebagaimana kita ketahui manusia banyak menggantungkan keberhargaan dirinya kepada dunia (seperti harta, jabatan, pasangan, teman, dll). Dalam Tasawuf, keberhargaan diri hanya boleh digantungkan kepada ALLAH. Karena jika memang mereka percaya ALLAH adalah yang paling kuat dan berharga, maka menggantungkan kepada selain ALLAH adalah taghut (sesembahan). Inilah kenapa dalam tareqahnya, seorang Sufi (penempuh Tasawuf) harus bisa menjadikan ALLAH sebagai satu-satunya sumber kekuatan dan penghargaan dirinya. Dalam istilah lain, Tasawuf adalah ajaran untuk mencapai Tauhid secara bathin (psikologis).
- Sisi psikologis (bathin) yang terdapat dalam ajaran-ajaran Kristen, Budha, dll sebaiknya tidak menafikan keberadaan Tasawuf sebagai sisi psikologis (bathin) dalam ajaran Islam. Hal ini karena Islam adalah ajaran penyempurna sehingga tidak harus sepenuhnya baru dari ajaran-ajaran yang terdahulu. Adanya sisi bathin dalam ajaran-ajaran yang sebelumnya ada malahan memperkuat status Tasawuf karena tentunya harus ada garis merah antara agama-agama yang besar, karena kemungkinan besar ajaran-ajaran tersebut dulunya sempat benar, sehingga masih ada sisa-sisa kebenaran yang mirip dengan Tasawuf sebagai sisi bathin (psikologis) dari ajaran Islam.
Pendapat yang mengatakan bahwa
tasawuf berasal dari luar agama Islam:
- Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
- (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
- Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di dalam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
- Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya, paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur ajaran Islam. Dengan kata lain, dalam agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumlah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980)[8].
- Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, hal itu bukanlah ajaran Rasulullah SAW dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) [9].
Tokoh
tasawuf di Indonesia
Tokoh –tokoh yang memengaruhi
tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh)
Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya,
Hamzah
Al-Fasuri, Nurddin
Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf As-Sinkili,
Syekh Yusuf Al-Makasari
dan Shohibul
Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,.[10]
Adapun tokoh-tokoh Tasawuf yang berpengaruh di Cirebon[1] diantaranya ialah Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih populer dengan sebutan Sunan Gunungjati,
Syekh Nurjati, guru dari Sunan Gunungjati,
Syekh
Abdullah Iman atau yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Cakrabuana, Syekh
Mulyani atau yang terkenal dengan sebutan Syekh
Royani yang melahirkan para ulama di Srengseng, sebuah desa yang terkenal di Kecamatan
Krangkeng, Kabupaten Indramayu,
Mbah
Kriyan, Syekh
Tholhah yang menjadi guru dari Syeikh 'Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a., Syekh Jauharul
Arifin pendiri Pondok Pesantren Al-Jauhariyah Balerante, Palimanan, Kabupaten Cirebon,
dan tokoh-tokoh Cirebon yang lain.[11]
Contoh
paham
Berikut contoh paham Sufi atau paham
tasauf:
Empat tingkatan kedalaman beragama
Syari'at dalam perspektif faham tasawuf ada yang
menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam,
syariat, tariqah
atau tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat', sebenarnya adalah inti dari
wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.
Sebuah tingkatan menjadi fondasi
bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai tingkatan berikutnya dengan
meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai
masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal ini
tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
Paham
kesatuan wujud
Paham kesatuan wujud adalah paham
yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke-3 Hijriah. Tokoh-tokohnya antara lain
adalah Ibnu Arabi, Mansur al Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini ditolak oleh
Al Ghazali dan Ibnu Taymiah.
Ketika tidak ada gerak bagimu untuk
dirimu sendiri maka sempurna yakinmu, dan ketika tidak ada wujudmu bagimu maka sempurna tauhidmu. [2] Maknanya: ketika kamu fana dari wujudmu karena tidak adanya pandanganmu terhadap wujudmu sama sekali, dengan cara kamu tidak melihat wujud bagi dirimu beserta wujud Gusti-mu Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempuna tauhidmu. Hal itu,
karena kamu telah menyatakan Gusti-mu dan kamu mempertimbangkan pandanganmu
didalamnya. Maka kamu melihat wujudmu, yaitu semua amalmu dari Allah swt sebagi ciptaan, maka ketika ini, kamu tidak melihat wujud kecuali Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia. Maka ketika itu telah
sempurna tauhidmu. Karena
hamba selagi melihat wujud dan amalnya sendiri, maka tidak sempurna tauhidnya menurut
para muwahhidiin muhaqqiqiin para
petauhid sempurna. Karena dia masih melihat dirinya
dapat beramal yang amal itu keluar dari dirinya. Berbeda dengan muwahhidiin
muhaqqiqiin (para petauhid sempurna), dia (mereka) telah hilang dari wujud
dirinya yang majazi dan rusak dengan sebab wujud Allah swt yang Maha Ada yang kekal dan hakiki. Hal itu ketika Allah swt telah memberikan kenyataan padanya tentang hakikat-hakikat, lalu dia melihat dengan cahaya Tuhan-nya yang telah dititipkan pada relung hatinya, bahwa sesungguhnya Allah swt telah mewujudkan dirinya dengan anugerah-NYA dan
menolongnya dengan kasih-NYA, kemudian dia tidak melihat dalam wujud selain Allah swt dan tidak melihat kasih selain Allah swt Yang Maha Agung dan Mulia, maka sempurnalah tauhidnya.
[3]
Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada
dua golongan: wujudiyyah
mulhid dan wujudiyyah
muwahhid. wujudiyyah
mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah
muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli
sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada
wujud Allah”. Ia
tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah
mulhid tadi, wujudiyyah
muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud
segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya dari pada
pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama
“tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah
mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah
mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan
keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di
Aceh.
Berdasarkan penjelasan ini, pada
dasarnya sama dengan ajaran wahdah
al-wujud Ibnu Arabi.
Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud
yang hakiki hanya Allah saja -alam semesta ini hanya bayangan- bayang-Nya. Dari
satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat
tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud
yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah
muwahhid dan wihdah
al-wujud ini tidak sama dengan pandangan
“bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam
keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang
dalam ajaran wihdah
al-wujud, pandangan tersebut kelihatan
sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam
yang serba majemuk ini.
Di samping itu, pandangan tauhid tingkat
tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa
melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu Arabi,
karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah
Klasik [4] Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen
Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50). [5]
.
Tasawuf
dan ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang pada zaman Yunani kuno
diberi citra, bahkan diidentikkan dengan filsafat. Tasawuf
sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama (Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya
gerakan Renaissance dan Aufklarung.
Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa
atau siapapun (agama, tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain
sebagainya) selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan
kebebasannya dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak
dicapai.[12]
Kesenian
sufi
Sufisme telah menyumbang cukup
banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki, Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab,
Bahasa Sindhi, yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal
al-Din Muhammad Rumi, Abdul
Qader Bedil, Bulleh
Shah, Amir
Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai,
Sachal
Sarmast, Sultan Bahu,
tradisi-tradisi dan tarian persembahan seperti Sama dan musik seperti Qawalli.
Di Cirebon, kesenian yang
berhubungan dengan Kesenian Sufi ini adalah Brai, Gembyung, Terbang, Genjring
Santri, dan lainya. Kebanyakan Jenis
Kesenian yang beredar di Cirebon terkait dengan perkembangan paham tasawuf
tersebut.
Beberapa buku yang telah di tulis
oleh para seniman, budayawan, dan sejarahwan Cirebon menguatkan anggapan ini.
Buku-buku yang memuat tentang kesenian Cirebon yang berakar pada ajaran tasawuf
ini diantaranya adalah Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon yang di tulis
oleh Rokhmin
Dahuri dkk pada tahun 2004 dan di cetak oleh PNRI. Selanjutnya buku Deskripsi Kesenian Cirebon
yang di susun oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaupaten
Cirebon yang salah satu anggota penyusunnya
adalah Bapak Kartani. Dalam banyak kesempatan Kartani selalu menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena media
kesenian sangat cocok untuk berdakwah pada saat itu Mertasinga
2004.
Jika seni dan kesenian dijadikan
sebagai media
dakwah, maka sangat munfisme/tasawuf yang
selalu menitik beratkan pada niat baik dalam segala aktiitas yang dijalnkannya.
[6]
tasawuf itu sulit didefinisikan agar
dapat dipahami dengan mudah
Doa
Sarmadiyah
DOA SARMADIYAH : Yang orang banyak menyebutnya dengan
“Doa Ilmu Cahaya Ilahi” merupakan amalan dari Syaikh Abu
Hayyullah AL-Marzuki Al-Maliky yang di kutib dari kitabJawahirul
Lama’ah, dia ini merupakan ulama ahli hikmah pada abad 7 Hijriah,
bermazhab Maliky. Sesuai dengan maksud isi doanya, Insy Allah dengan izinNya
akan membukakan hijab gerbang pintu makrifat dan kasyaf (terbukanya
tirai) hati anda dan anda dapat dengan mudah menyelami
samudara pengertian-pengertian sir-sir ilmunya Allah yang maha
agung dan luas.
Lihat pula
Catatan
2.
^ Shaykh
Muhammad Hisham Kabbani, The Naqshbandi Sufi Tradition Guidebook of Daily
Practices and Devotions, 2004, hlm. 83.
Bacaan tambahan
|
- Abun-Nasr, Jamil. Muslim Communities of Grace: The Sufi Brotherhoods in Islamic Religious Life. London, Hurst, 2007.
- Al-Badawi, Mostafa. Sufi Sage of Arabia. Louisville: Fons Vitae, 2005.
- Algan, Refik & Camille Adams Helminski, translators, Rumi's Sun: The Teachings of Shams of Tabriz, (Sandpoint, ID:Morning Light Press, 2008) ISBN 978-1-59675-020-3
- Ali-Shah, Omar. The Rules or Secrets of the Naqshbandi Order, Tractus Publishers, 1992, ISBN 978-2-909347-09-7.
- Angha, Nader. "Sufism: A Bridge Between Religions". MTO Shahmaghsoudi Publications, 2002, ISBN 0-910735-55-7
- Angha, Nader. "Sufism: The Lecture Series". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1997, ISBN 978-0-910735-74-2.
- Angha, Nader. "Peace". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1994, ISBN 978-0-910735-99-5.
- Aractingi, Jean-Marc and Christian Lochon, Secrets initiatiques en Islam et rituels maçonniques-Ismaéliens, Druzes, Alaouites,Confréries soufies; éd. L'Harmattan, Paris, 2008 (ISBN 978-2-296-06536-9).
- Arberry, A.J.. Mystical Poems of Rumi, Vols. 1&2. Chicago: Univ. Chicago Press, 1991.
- Austin, R.W.J.. Sufis of Andalusia, Gloustershire: Beshara Publications, 1988.
- Azeemi,Khwaja Shamsuddin. Muraqaba: Art and Science of Sufi Meditation, Houston:Plato Publishing,Inc., 2005, ISBN 0-9758875-4-8.
- Barks, Coleman & John Moyne, translators, The Drowned Book: Ecstatic & Earthy Reflections of Bahauddin, the Father of Rumi, (NY: HarperCollins, 2004) ISBN 0-06-075063-4
- Bewley, Aisha. The Darqawi Way. London: Diwan Press, 1981.
- Burckhardt, Titus. An Introduction to Sufi Doctrine. Lahore: 1963.
- Chopra, R M, "Great Sufi Poets of The Punjab", Iran Society, Calcutta, 1999.
- Colby, Frederick. The Subtleties of the Ascension: Lata'if Al-Miraj: Early Mystical Sayings on Muhammad's Heavenly Journey. City: Fons Vitae, 2006.
- Dahlén, Ashk, Sufi Islam, The World's Religions: Continuities and Transformations, ed. Peter B. Clarke & Peter Beyer, New York, 2008.
- Emin Er, Muhammad. Laws of the Heart: A Practical Introduction to the Sufi Path, Shifâ Publishers, 2008, ISBN 978-0-9815196-1-6.
- Emin Er, Muhammad. The Soul of Islam: Essential Doctrines and Beliefs, Shifâ Publishers, 2008, ISBN 978-0-9815196-0-9.
- Ernst, Carl. The Shambhala Guide to Sufism. HarperOne, 1999.
- Fadiman, James and Frager, Robert. Essential Sufism. Boulder: Shambhala, 1997.
- Farzan, Massud. The Tale of the Reed Pipe. New York: Dutton, 1974.
- Gowins, Phillip. Sufism—A Path for Today: The Sovereign Soul. New Delhi: Readworthy Publications (P) Ltd., 2008. ISBN 978-81-89973-49-0
- Khan, Inayat. "Part VI, Sufism". The Sufi message, Volume IX—The Unity of Religious Ideals
- Koc, Dogan, "Gulen's Interpretation Of Sufism", Second International Conference on Islam in the Contemporary World: The Fethullah Gülen Movement in Thought and Practice, December 2008
- Lewinsohn (ed.), The Heritage of Sufism, Volume I: Classical Persian Sufism from its Origins to Rumi (700-1300).
- Michon, Jean-Louis. The Autobiography (Fahrasa) of a Moroccan Soufi: Ahmad Ibn 'Ajiba (1747–1809). Louisville: Fons Vitae, 1999.
- Nurbakhsh, Javad, What is Sufism? electronic text derived from The Path, Khaniqahi Nimatullahi Publications, London, 2003 ISBN 0-933546-70-X.
- Rahimi, Sadeq (2007). Intimate Exteriority: Sufi Space as Sanctuary for Injured Subjectivities in Turkey., Journal of Religion and Health, Vol. 46, No. 3, September 2007; pp. 409–422
- Schimmel, Annemarie, Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1983. ISBN 0-8078-1223-4
- Schmidle, Nicholas, "Pakistan's Sufis Preach Faith and Ecstasy", Smithsonian magazine, December 2008
- Sells, Michael (ed.), Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, Poetic and Theological Writings, ISBN 978-0-8091-3619-3.
- Shah, Idries. The Sufis. New York: Anchor Books, 1971, ISBN 0-385-07966-4.
- Shah, Sirdar Ikbal Ali. "The General Principles of Sufism," The Hibbert Journal, Vol. XX, October 1921/ July 1922.
- Shaikh Sharfuddin Maneri. Letters from a Sufi Teacher. Mountain View, CA: Golden Elixir Press, 2010. ISBN 978-0-9843082-4-8.
- Seker, Nimet. Jewish and Muslim Mysticism: Jewish Mystics on the Sufi Path Qantara.de April 2010
- Wilcox, Lynn. "Women and the Holy Qur'an: a Sufi Perspective". MTO Shahmaghsoudi Publications, 1998, ISBN 0-910735-65-4
Pranala luar
|
- Sufism Oxford Islamic Studies Online
- (Inggris) Sufism di Proyek Direktori Terbuka
- Sufism, Sufis, and Sufi Orders - Sufism's Many Paths
- Extensive photo Essay on Sufism by a National Geographic photographer
- ProjectSufism - misconceptions, realities and true essence of sufism
- (Indonesia) Hakekat tasawuf oleh Qardhawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar